Lulus dari pesantren Nglawak pertengahan 1960-an, H.
Sofyan Sholeh yang berasal dari dusun Kedungringin Drenges Kertosono Nganjuk menikah
dengan Hj. Muthi’ah binti Rowi dan tinggal Bersama mertuanya di dusun Bagbogo
Tanjunganom Nganjuk. H. Sufyan Sholeh dan istrinya bekerja sebagai petani dan
pedagang tebu yang sukses pada masanya. Selain turut berperan dalam pembangunan
Masjid di dusun tersebut, mereka juga membangun musholla di samping rumah,
sebagai tempat ibadah sekaligus menjadi tempat mengajar mengaji al-Qur’an bagi
masyarakat sekitar.
Pada tahun 1980an, Hj. Muthi’ah terpilih menjadi ketua
Jam’iyah Muslimat NU kabupaten Nganjuk hingga pertengahan 1990-an. Salah satu
gerakan menonjol masa kepemimpinannya adalah mendorong berdirinya pendidikan
pra sekolah, berupa Taman-kanak (TK) dan Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ). Itu
sebabnya, pada masa itu berdiri banyak TK dan TPQ di kabupaten Nganjuk yang
menggunakan nama Muslimat Khodijah, yang bernaung di bawah yayasan yang
dikelola oleh Jam’iyah Muslimat NU.
Sebagai bagian dari gerakan tersebut, H. Sofyan Sholeh
dan Hj. Muthi’ah mewakafkan sebagian tanahnya untuk mendirikan lembaga pendidikan
yang diberi nama TK Muslimat Khadijah V dan TPQ Muslimat Khadijah V. Semua guru
dan pengelola sekolah dan taman Pendidikan al-Qur’an dipercayakan sepenuhnya pada
keponakan Hj. Muthi’ah dan masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya.
Kedua lembaga pendidikan tersebut mendapat animo besar
dari masyarakat yang masing-masing membina tidak kurang dari 120an siswa TK dan
120an santri TPQ setiap tahun. Keduanya sekaligus menjadi TK dan TPQ dengan
jumlah siswa terbanyak di daerah ini.
H. Sofyan Sholeh dan Hj. Muthi’ah berupaya mengembangkan
lembaga Pendidikan yang mereka Kelola agar lebih berkembang lagi. Mereka sempat
mendirikan sekolah menengah pertama (SMP) yang berlokasi di lahan yang saat ini
ditempati SD Islam Darush Sholihin. Mereka bahkan secara swadaya membangun gedung
tiga lokal untuk SMP, tetapi sepi peminat. Gedung tersebut kemudian digunakan sebagai
TPQ hingga awal tahun 2000.
H. Sofyan Sholeh dan Hj. Muthi’ah juga membuka
pesantren, pada pertengahan 1990-an, yang merupakan cabang dari Pondok
Pesantren Mambaul Hisan Blitar yang dikhususkan bagi santri usia TK dan SD, tetapi
kerja sama tersebut berjalan beberapa tahun saja. Meski kerja sama tersebut
berakhir, tetapi pada tahun 2000 masih sekitar 14 santri anak-anak yang mondok
di pesantren H. Sufyan Sholeh.
Setelah sebagian putera-puterinya mapan, H. Sofyan dan
Hj. Muthi’ah melibatkan mereka dalam mengelola lembaga pendidikannya, Untuk
itu, sekitar 1996 puteri dan menantunya mendirikan yayasan di Jakarta, dengan
nama Yayasan Bany Rowi. Digunakannya nama
Bany Rowi diharapkan dapat membuat keluarga besar Hj. Muthi’ah yang tinggal di
sekitar lembaga pendidikan ini semakin bersatu, kompak dan mendukung
pengembangan tersebut, tapi rupanya berdirinya yayasan justeru direspon berbeda
oleh keluarga besarnya.
Bukannya mendukung, guru-guru dan pengelola TK yang
nota bene keponakan Hj. Muthi’ah keberatan dengan pendirian yayasan, hingga
berujung konflik yang melibatkan wali murid dan masyarakat sekitar. Puncaknya,
seluruh guru dan siswa keluar dari TK Muslimat Khadijah V dan mendirikan
sekolah sendiri. Akibatnya, TK Muslimat Khadijah V lumpuh, karena ditinggalkan seluruh
guru, siswa, bahkan masyarakat Bagbogo dan sekitarnya. Meski tidak sedrastis nasib
TK Muslimat, TPQ Muslimat Khadijah V
juga mengalami nasib sama, yang mana tidak lagi ada penambahan siswa hingga beberapa
tahun sesudahnya.
Setelah vakum beberapa tahun, pada awal tahun 2000,
puteri ketiga H. Sufyan Sholeh, yaitu Hj. Tutik Husniati menikah dengan Dr. H. Irfan
Tamwifi, dosen IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya. Meski bekerja di luar
kota, H. Sufyan Sholeh dan Hj. Muthi’ah mensyaratkan puteri dan menantunya
tinggal di daerah ini agar lembaga pendidikannya dapat dihidupkan kembali. Sejak
tahun pelajaran 2000-2001 H. Irfan dan Hj. Tutik merintis sekolah baru dengan
nama TK Islam Terpadu Darush Sholihin, kemudian mendirikan SD Islam Darush
Sholihin pada tahun berikutnya.
Mengingat nama lama, Muslimat Khadijah V, tidak
diterima oleh masyarakat sekitar, maka dipilihlah nama baru sebagai upaya re-branding
sekolah. H. Irfan dan Hj. Tutik juga tidak menggunakan nama Yayasan Bany Rowi dan
pesantren Mambaul Hisan karena tidak marketable. Sebagai gantinya
digunakan nama Darush Sholihin, atas dasar nama orang yang wakaf (wakif)
tanah bernama H. Sufyan Sholeh (arab: Shalih/Sholih). Dalam rangka rebranding,
nama sholih disamarkan ke dalam bentuk jamak, sholihin (rofa’-nya
sholihun). Di depan kata Sholihin ditambahkan kata Dar atau Darun
yang berarti rumah, keluarga, kampung atau negeri, sehingga Darush Sholihin berarti
rumah, keluarga, kampung atau negeri orang-orang shalih.
Sejak saat itu nama Darush Sholihin di-branding
sebagai nama baru bagi lembaga ini secara keseluruhan, mulai dari yayasan hingga
unit-unit pendidikan dan sosial yang dikelolanya. Perlahan lembaga pendidikan
dan sosial ini kembali berkembang dengan yayasan baru serta unit-unit pendidikan
dan sosial baru, meliputi; Kelompok Belajar (KB), Taman Kanak-kanak, SD Islam, SMP,
TPQ-Plus, Pondok Pesantren, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (KLSA), hingga
koperasi yang seluruhnya menggunakan nama Darush Sholihin.
Bukan hanya merubah nama, lembaga ini juga melakukan
perubahan sistem managemen, kurikulum hingga pelayanan. Pengalaman pengelola baru
sebagai alumni pesantren, akademisi dan trainer dan trainer of trainers di
LAPIS-AUSAID banyak mewarnai format kurikulum, managemen, pemilihan segmen
sosial, hingga pengelolaan pendidikan dan sosial hingga ke taraf teknis. Sebagai
misal, dalam sistem managemen baru, keluarga dekat dilarang menjadi tenaga guru
atau pegawai demi suasana kerja yang sehat. Hal ini berbeda dibanding pola
managemen sebelumnya yang berbasis keluarga besar.
Dalam rangka penjaminan mutu, lembaga ini secara
mandiri mampu menyiapkan tenaga guru, tenaga kependidikan dan administrasi
melalui pelatihan-pelatihan mandiri secara berkala, sehingga pergantian tenaga
guru tidak banyak berdampak terhadap mutu dan layanan. Lembaga juga melakukan
kerja sama dengan berbagai lembaga pengembang pendidikan, terutama non
pemerintah baik secara formal maupun informal dalam rangka up date mutu secara
dinamis, di antaranya, alumni Konsorsium Pendidikan Islam (KPI) Surabaya, SDI
Network, Ummi Foundations dan sebagainya.
Perubahan tersebut membawa dampak signifikan, yang
mana animo masyarakat kembali tumbuh bahkan secara kualitatif dan kuantitatif melampaui
masa-masa sebelumnya. Perubahan tersebut juga berdampak pada segmentasi
masyarakat yang bukan lagi bertumpu pada masyarakat sekitar sekolah seperti di
masa lalu. Bahkan mayoritas siswa bukan berasal dari dusun Bagbogo dan
sekitarnya, melainkan menjangkau masyarakat dari luar desa, bahkan luar
kecamatan Tanjunganom.
Belajar dari managemen sekolah-sekolah bonafid di
berbagai daerah, pengembangan sarana dan prasarana pendidikan tidak lagi
tergantung pada bantuan masyarakat sekitar maupun bantuan pemerintah. Darush
Sholihin membangun gedung, menyediakan sarana dan prasarana, bahkan pengadaan
lahan dengan mengandalkan managemen cash flow internal.
Pandemi Covid 19 sempat mengguncang lembaga ini, bukan
saja karena situasi sosial tidak memungkinkan pengelolaan pendidikan secara
normal, melainkan juga karena sebagian pendiri Darush Sholihin, Hj. Muthi’ah
dan Hj. Tutik Husniati wafat pada tahun 2021. Situasi ini mengharuskan yayasan
kembali menata managemen, kurikulum dan berbagai aspek terkait mengingat
berbagai problem dan situasi baru pasca pandemi mengharuskan penataan ulang. Selain
menyiapkan berbagai program dan pendekatan baru, secara gradual lembaga ini
telah mulai merintis digitalisasi sistem managemen, administrasi hingga
pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
yayasands@gmail.com