Jumat, 26 Januari 2024

SEJARAH DARUSH SHOLIHIN NGANJUK

Lulus dari pesantren Nglawak pertengahan 1960-an, H. Sofyan Sholeh yang berasal dari dusun Kedungringin Drenges Kertosono Nganjuk menikah dengan Hj. Muthi’ah binti Rowi dan tinggal Bersama mertuanya di dusun Bagbogo Tanjunganom Nganjuk. H. Sufyan Sholeh dan istrinya bekerja sebagai petani dan pedagang tebu yang sukses pada masanya. Selain turut berperan dalam pembangunan Masjid di dusun tersebut, mereka juga membangun musholla di samping rumah, sebagai tempat ibadah sekaligus menjadi tempat mengajar mengaji al-Qur’an bagi masyarakat sekitar.

Pada tahun 1980an, Hj. Muthi’ah terpilih menjadi ketua Jam’iyah Muslimat NU kabupaten Nganjuk hingga pertengahan 1990-an. Salah satu gerakan menonjol masa kepemimpinannya adalah mendorong berdirinya pendidikan pra sekolah, berupa Taman-kanak (TK) dan Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ). Itu sebabnya, pada masa itu berdiri banyak TK dan TPQ di kabupaten Nganjuk yang menggunakan nama Muslimat Khodijah, yang bernaung di bawah yayasan yang dikelola oleh Jam’iyah Muslimat NU.

Sebagai bagian dari gerakan tersebut, H. Sofyan Sholeh dan Hj. Muthi’ah mewakafkan sebagian tanahnya untuk mendirikan lembaga pendidikan yang diberi nama TK Muslimat Khadijah V dan TPQ Muslimat Khadijah V. Semua guru dan pengelola sekolah dan taman Pendidikan al-Qur’an dipercayakan sepenuhnya pada keponakan Hj. Muthi’ah dan masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya.

Kedua lembaga pendidikan tersebut mendapat animo besar dari masyarakat yang masing-masing membina tidak kurang dari 120an siswa TK dan 120an santri TPQ setiap tahun. Keduanya sekaligus menjadi TK dan TPQ dengan jumlah siswa terbanyak di daerah ini.

H. Sofyan Sholeh dan Hj. Muthi’ah berupaya mengembangkan lembaga Pendidikan yang mereka Kelola agar lebih berkembang lagi. Mereka sempat mendirikan sekolah menengah pertama (SMP) yang berlokasi di lahan yang saat ini ditempati SD Islam Darush Sholihin. Mereka bahkan secara swadaya membangun gedung tiga lokal untuk SMP, tetapi sepi peminat. Gedung tersebut kemudian digunakan sebagai TPQ hingga awal tahun 2000.

H. Sofyan Sholeh dan Hj. Muthi’ah juga membuka pesantren, pada pertengahan 1990-an, yang merupakan cabang dari Pondok Pesantren Mambaul Hisan Blitar yang dikhususkan bagi santri usia TK dan SD, tetapi kerja sama tersebut berjalan beberapa tahun saja. Meski kerja sama tersebut berakhir, tetapi pada tahun 2000 masih sekitar 14 santri anak-anak yang mondok di pesantren H. Sufyan Sholeh.

Setelah sebagian putera-puterinya mapan, H. Sofyan dan Hj. Muthi’ah melibatkan mereka dalam mengelola lembaga pendidikannya, Untuk itu, sekitar 1996 puteri dan menantunya mendirikan yayasan di Jakarta, dengan nama  Yayasan Bany Rowi. Digunakannya nama Bany Rowi diharapkan dapat membuat keluarga besar Hj. Muthi’ah yang tinggal di sekitar lembaga pendidikan ini semakin bersatu, kompak dan mendukung pengembangan tersebut, tapi rupanya berdirinya yayasan justeru direspon berbeda oleh keluarga besarnya.

Bukannya mendukung, guru-guru dan pengelola TK yang nota bene keponakan Hj. Muthi’ah keberatan dengan pendirian yayasan, hingga berujung konflik yang melibatkan wali murid dan masyarakat sekitar. Puncaknya, seluruh guru dan siswa keluar dari TK Muslimat Khadijah V dan mendirikan sekolah sendiri. Akibatnya, TK Muslimat Khadijah V lumpuh, karena ditinggalkan seluruh guru, siswa, bahkan masyarakat Bagbogo dan sekitarnya. Meski tidak sedrastis nasib TK Muslimat, TPQ  Muslimat Khadijah V juga mengalami nasib sama, yang mana tidak lagi ada penambahan siswa hingga beberapa tahun sesudahnya.

Setelah vakum beberapa tahun, pada awal tahun 2000, puteri ketiga H. Sufyan Sholeh, yaitu Hj. Tutik Husniati menikah dengan Dr. H. Irfan Tamwifi, dosen IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya. Meski bekerja di luar kota, H. Sufyan Sholeh dan Hj. Muthi’ah mensyaratkan puteri dan menantunya tinggal di daerah ini agar lembaga pendidikannya dapat dihidupkan kembali. Sejak tahun pelajaran 2000-2001 H. Irfan dan Hj. Tutik merintis sekolah baru dengan nama TK Islam Terpadu Darush Sholihin, kemudian mendirikan SD Islam Darush Sholihin pada tahun berikutnya.  

Mengingat nama lama, Muslimat Khadijah V, tidak diterima oleh masyarakat sekitar, maka dipilihlah nama baru sebagai upaya re-branding sekolah. H. Irfan dan Hj. Tutik juga tidak menggunakan nama Yayasan Bany Rowi dan pesantren Mambaul Hisan karena tidak marketable. Sebagai gantinya digunakan nama Darush Sholihin, atas dasar nama orang yang wakaf (wakif) tanah bernama H. Sufyan Sholeh (arab: Shalih/Sholih). Dalam rangka rebranding, nama sholih disamarkan ke dalam bentuk jamak, sholihin (rofa’-nya sholihun). Di depan kata Sholihin ditambahkan kata Dar atau Darun yang berarti rumah, keluarga, kampung atau negeri, sehingga Darush Sholihin berarti rumah, keluarga, kampung atau negeri orang-orang shalih.

Sejak saat itu nama Darush Sholihin di-branding sebagai nama baru bagi lembaga ini secara keseluruhan, mulai dari yayasan hingga unit-unit pendidikan dan sosial yang dikelolanya. Perlahan lembaga pendidikan dan sosial ini kembali berkembang dengan yayasan baru serta unit-unit pendidikan dan sosial baru, meliputi; Kelompok Belajar (KB), Taman Kanak-kanak, SD Islam, SMP, TPQ-Plus, Pondok Pesantren, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (KLSA), hingga koperasi yang seluruhnya menggunakan nama Darush Sholihin.

Bukan hanya merubah nama, lembaga ini juga melakukan perubahan sistem managemen, kurikulum hingga pelayanan. Pengalaman pengelola baru sebagai alumni pesantren, akademisi dan trainer dan trainer of trainers di LAPIS-AUSAID banyak mewarnai format kurikulum, managemen, pemilihan segmen sosial, hingga pengelolaan pendidikan dan sosial hingga ke taraf teknis. Sebagai misal, dalam sistem managemen baru, keluarga dekat dilarang menjadi tenaga guru atau pegawai demi suasana kerja yang sehat. Hal ini berbeda dibanding pola managemen sebelumnya yang berbasis keluarga besar.  

Dalam rangka penjaminan mutu, lembaga ini secara mandiri mampu menyiapkan tenaga guru, tenaga kependidikan dan administrasi melalui pelatihan-pelatihan mandiri secara berkala, sehingga pergantian tenaga guru tidak banyak berdampak terhadap mutu dan layanan. Lembaga juga melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga pengembang pendidikan, terutama non pemerintah baik secara formal maupun informal dalam rangka up date mutu secara dinamis, di antaranya, alumni Konsorsium Pendidikan Islam (KPI) Surabaya, SDI Network, Ummi Foundations dan sebagainya.

Perubahan tersebut membawa dampak signifikan, yang mana animo masyarakat kembali tumbuh bahkan secara kualitatif dan kuantitatif melampaui masa-masa sebelumnya. Perubahan tersebut juga berdampak pada segmentasi masyarakat yang bukan lagi bertumpu pada masyarakat sekitar sekolah seperti di masa lalu. Bahkan mayoritas siswa bukan berasal dari dusun Bagbogo dan sekitarnya, melainkan menjangkau masyarakat dari luar desa, bahkan luar kecamatan Tanjunganom.

Belajar dari managemen sekolah-sekolah bonafid di berbagai daerah, pengembangan sarana dan prasarana pendidikan tidak lagi tergantung pada bantuan masyarakat sekitar maupun bantuan pemerintah. Darush Sholihin membangun gedung, menyediakan sarana dan prasarana, bahkan pengadaan lahan dengan mengandalkan managemen cash flow internal.

Pandemi Covid 19 sempat mengguncang lembaga ini, bukan saja karena situasi sosial tidak memungkinkan pengelolaan pendidikan secara normal, melainkan juga karena sebagian pendiri Darush Sholihin, Hj. Muthi’ah dan Hj. Tutik Husniati wafat pada tahun 2021. Situasi ini mengharuskan yayasan kembali menata managemen, kurikulum dan berbagai aspek terkait mengingat berbagai problem dan situasi baru pasca pandemi mengharuskan penataan ulang. Selain menyiapkan berbagai program dan pendekatan baru, secara gradual lembaga ini telah mulai merintis digitalisasi sistem managemen, administrasi hingga pembelajaran.